Kepemimpinan Kepala Desa Dalam Penanganan Bencana Gempa Di Jono Oge
Monday, May 11, 2020
Edit
Oleh : Muhammad Rizki Mulyanudin (Ilmu Administrasi Publik Unpad 2017)
A. PENDAHULUAN
Menurut UU No. 24 tahun 2007, bencana adalah “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakivatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis”. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa bencana adalah ketika sebuah kejadian luar biasa (hazard) terjadi dan berdampak langsung terhadap komunitas yang rentan (vulnerable). Yang dalam hal ini yaitu masyarakat yang tidak dapat mengatasi hal luar biasa tersebut.
Maka untuk mengatasi hal tersebut lahirlah manajemen bencana yang bertujuan untuk menghindari terjadinya hal luar biasa (hazard), dan mengurangi kerentanan (vulnerable) yang dimiliki masyarakat. Salah satu bagain dari manajemen bencana adalah kebijakan menajemen bencana. Yang seperti kita ketahui sebuah regulasi/kebijakan adalah suatu hal yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Maka tidak dapat dipungkiri peran pemimpin sangatlah penting dalam penanganan bencana ini.
Salah satu regulasi yang berlaku di Indonesia adalah yang dikeluarkan oleh Badan SAR dan PB mengenai Tahapan Program Pendampingan Posko Masyarakat Penanganan Bencana Tingkat Dusun yang akan dibahas dalam esai kali ini. Kasus yang akan dijadikan contoh untuk dianalisi adalah kasus gempa bumi yang terjadi di desa Jono Oge. Namun sebelum melangkah lebih jauh mari kita pahami pengertian gempa terlebih dahulu. Menurut Prager 2006 dalam Pristanto 2010 mengemukakan gempa bumi merupakan getaran siesmik yang disebabkan oleh pecahnya atau bergesernya bebatuan di suatu tempat dalam kerak bumi.
B. ISI
1. Kronologi Kasus
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan kronologi gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018).
Menurut Sutopo, gempa pertama kali mengguncang Donggala pukul 14.00 WIB. Gempa tersebut berkekuatan magnitudo 6 dengan kedalaman 10 km. Akibat gempa itu, satu orang meninggal dunia, 10 orang luka, dan puluhan rumah rusak di Kecamatan Singaraja, Kabupaten Donggala. Setelah itu, gempa kembali terjadi pukul 17.02 WIB dengan kekuatan yang lebih besar, yaitu magnitudo 7,4 dengan kedalaman yang sama, 10 km di jalur sesar Palu Koro.
Menurut Sutopo, gempa tersebut tergolong gempa dangkal dan berpotensi memicu tsunami. "Gempa ini adalah gempa yang dangkal akibat jalur sesar Palu Koro yang dibangkitkan oleh deformasi dengan mekanisme pergerakan struktur sesar mendatar miring, dan gempa ini berpotensi memicu tsunami," kata Sutopo di kantor BNPB, Utan Kayu, Jakarta Timur, Sabtu (29/9/2018).
Lima menit pascagempa, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan peringatan dini tsunami. "Ketika terjadi warning tsunami, BMKG menyatakan pada pukul 17.02 dengan status Siaga dan Waspada. Arti status Siaga, tinggi tsunami adalah 0, 5-3 meter untuk di pantai barat Donggala. sedangkan Waspada, kurang dari setengah meter Kota Palu bagian barat," ujar Sutopo.
Saat itu, menurut Sutopo, pihaknya tengah menyiapkan rilis untuk mengimbau masyarakat supaya menjauhi kawasan pantai dan sungai dalam kurun waktu 30 menit. Namun, 30 menit setelah dikeluarkan peringatan tersebut, BMKG mencabutnya pada pukul 17.37 WIB.
Akan tetapi, tsunami benar-benar terhadi pada pukul 17.22 WIB. Berdasar data BNPB, ketinggian tsunami ada yang mencapai 6 meter. Sejak gempa dan tsunami terjadi di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Jumat (28/9/2018), sejumlah gempa susulan terus terjadi di kawasan tersebut hingga Jumat malam. Tercatat, setidaknya ada 13 gempa dengan kekuatan di atas magnitudo 5 sejak pukul 14.00 WIB hingga 21.26 WIB. Jumlah korban meninggal dunia akibat gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Kota Palu, hingga pukul 13.00 WIB, tercatat sebanyak 384 orang. Selain ratusan korban meninggal, menurut data BNPB, tercatat 29 orang hilang dan 540 luka berat di Kota Palu.
Sementara itu, BNPB belum bisa menyampaikan jumlah korban terdampak gempa dan tsunami di Kabupaten Donggala. Sebab, hingga saat ini listrik di wilayah tersebut masih padam sehingga menghambat komunikasi.
Sementara itu ada beberapa factor penyebab tsunami menurut para ilmuwan mengatakan bahwa tsunami yang menghancurkan Palu lebih besar dibandingkan dengan gempa yang memicunya. Namun beberapa faktor lain, termasuk teluk yang panjang dan sempit, menghasilkan gelombang raksasa. Setidaknya 844 orang meninggal akibat bencana tersebut. Para pejabat mengatakan jumlah korban akan meningkat, mungkin bisa mencapai ribuan.
Gempa berkekuatan 7,5 SR yang terjadi pada Jumat (27/9) sore, saat mayoritas warga biasanya sedang salat di masjid, merobohkan beberapa gedung di Palu dan daerah sekitarnya. Namun, pertemuan kondisi geofisika yang tidak lazim menyebabkan tsunami terlokalisir yang mampu menghancurkan gedung-gedung dan tentu saja, menimbulkan korban jiwa. “Gelombangnya mencapai setidaknya dua sampai tiga meter dan ada kemungkinan lebih dari itu,” kata Jane Cunneen, salah satu peneliti dari Fakultas Teknik dan Sains, Universitas Curtin di Bentley, Australia Barat.
Dilihat dari ukuran gempa, seharusnya tidak menyebabkan tsunami sebesar itu. Sebaliknya, tsunami di Palu terjadi karena pergeseran sesar dengan pola strike-slip, yaitu ketika bongkahan kerak-kerak Bumi saling bergerak ke dalam satu sama lain di sepanjang bidang horizontal. “Pergeseran seperti ini umumnya tidak menyebabkan tsunami, karena mereka tidak menyebabkan kenaikan dasar laut yang terlalu besar,” kata Cunneen.
Jadi apa yang menyebabkan munculnya gelombang mematikan itu? Setidaknya ada tiga faktor, kata para peneliti kepada AFP antara lain sebagai berikut:
Longsor Bawah Laut
Salah satu penyebabnya adalah saluran air laut yang panjang dan dengan ujung yang buntu di daerah dataran rendah kota Palu. “Bentuk teluk sangat berperan penting dalam memperbesar ukuran gelombang,” kata Anne Socquet, pakar gempa bumi dari Institut Gempa Sains di Grenoble. “Teluk berfungsi seperti corong jalur masuk gelombang tsunami.” Ketika teluk menyempit dan makin dangkal, air terdorong ke atas dari bawah dan tertekan dari berbagai arah secara bersamaan.
Faktor yang kedua adalah kekuatan dan lokasi pusat gempa.
Gempa dengan ukuran 7,5 SR termasuk gempa yang berkekuatan besar. Hanya sedikit gempa yang berkekuatan besar seperti ini terjadi setiap tahunnya. Hal yang memperburuk, retakan bumi sangat dekat dengan pantai. Akibatnya, gelombang tidak memiliki cukup waktu atau jarak untuk menyurut.
Terakhir adalah disebabkan oleh longsor dasar laut.
Bukti yang menunjukkan bahwa tsunami juga disebabkan oleh terjadinya longsor pada dasar laut. “Gempa mungkin menyebabkan longsor pada dasar laut dekat dengan mulut teluk, atau bahkan di dalam teluknya,” kata Cunneen. Hal ini dapat membantu menjelaskan kenapa gelombang begitu besar menerjang dekat Kota Palu, namun lebih kecil di daerah lain.
Adapun kondisi yang dipakai untuk penugasan adalah wilayah sigi
Pengungsi Jonoge yang eksodus ke Desa Pombewe ketika gempa bumi dahsyat menghajar desa di Kabupaten Sigi itu kini masih membutuhkan uluran tangan. Ya, mereka berharap adanya bantuan makanan dan air bersih yang masuk ke desa mereka. "Kami masih kekurangan bahan makanan serta air untuk mencuci dan minum," kata Eni, seorang warga Desa Jonoge di lokasi posko bencana alam yang terletak di Desa Pombewe, Kecamatan Sigibiromaru, Selasa (6/11/2018).
Ia mengatakan, di wilayah tersebut terdapat tiga posko bencana alam dan semua pengungsi asal Desa Jonoge, salah satu desa terparah diterjang gempabumi pada 28 September 2018. Baik pengungsi yang tinggal di posko I,II dan III, rata-rata masih memerlukan uluran tangan dari semua pihak yang merasa peduli dengan korban bencana alam. "Terus terang kami belum mengetahui sampai kapan bisa bertahan di lokasi pengungsian. Rata-rata warga yang mengungsi telah kehilangan rumah dan harta benda karena gempabumi," katanya.
Mereka kini hanya berharap besar dari perhatian pemerintah, terutama bisa mendapatkan bantuan rumah tinggal yang tetap. Sebab untuk membangun sendiri rumah, warga tidak ada kemampuan lagi, karena harta benda,semuanya lenyap diterjang bencana alam. Desa Jonoge, kata dia, dihuni sekitar 3.000-an jiwa dan rata-rata petani dan peternak. Sementara areal pertanian dan perternakan telah diporak-porandakan gempabumi. "Jadi benar-benar warga akan bangkit dari awal lagi.Sedangkan berharap pada mata pencaharian utama adalah petani dan peternak, sudah tidak mungkin," katanya.
Areal pertanian dan peternakan yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat, kini sudah hancur luluh lantak akibat gempa bumi dan likuifaksi.
2. Analisi Kasus
a. Tahap 1: Pembentukan Posko Masyarakat Penanganan Bencana Tingkat Dusun di Desa Jono Oge
Dalam tahap ini, perlu diperhatikan keadaan pra dan pasca bencana. Desa Jono Oge di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah adalah desa yang plural, dengan penduduk yang didominasi perantau dari Jawa. Umumnya mereka adalah petani sayur dan buah, peternak, dan banyak juga yang menjadi pedagang. Jono Oge adalah desa yang berhasil membangun ekonominya dari hasil pertanian dan peternakan. Warga Jono Oge tidak ada yang menanam padi, warga lebih menyukai sayuran dan holtikultura. Warga menilai, padi terlalu lama dipanen, mereka lebih suka menjual taaman yang berumur pendek, karena peputaran uangnya lebih cepat. Terbukti dari bangunan rumah warga di Jono Oge terlihat lebih bagus daripada di desa-desa sekitar. Ini menunjukkan tingkat ekonomi warganya lebih baik. Namun, kini bangunan-bangunan tersebut runtuh dan lenyap akibat likuifaksi saat gempa berkekuatan 7.4 SR pada 28 September lalu. Saat ini, warga Jono Oge hanya berharap besar dari perhatian pemerintah, terutama agar mendapatkan bantuan rumah tinggal yang tetap. Sebab untuk membangun rumah sendiri, warga tidak ada mampu lagi, karena semua harta benda lenyap. Hamparan ladang jagung dan kelapa telah menutup perkampungan subur ini. Selain itu, warga yang hilang ditelan lumpur juga belum ditemukan.
Menurut Kepala Desa Jono Oge, Darius D Tondji, ada sekitar tiga ribuan warga Desa Jono Oge yang terpaksa harus mengungsi ke desa tetangga tepatnya di Desa Pombewe, dikarenakan sebagian besar rumah penduduknya hanyut dan tenggelam oleh lumpur yang muncul bersamaan dengan gempa. Disana terdapat tiga posko bencana alam yang ditempati oleh semua pengungsi asal Desa Jono Oge, Para pengungsi yang tinggal di posko I, II, dan III, rata-rata masih memerlukan bantuan dari semua pihak yang merasa peduli dengan korban bencana alam. Selain itu, terdapat pembangunan shelter yang dilengkapi angkutan, tangki air bersih, dan alat penerangan. Di shelter terpadu tersebut didirikan tenda keluarga sebanyak 200 unit dan tenda besar untuk ibadah maupun belajar anak-anak pengungsi. Kesulitan yang dialami warga Jono Oge membuat mereka masih mendiami pengungsian. Mereka mendapat makanan dari sumbangan dan layanan berbagai pihak. Darius pun sebagai Kepala Desa mewakili warga yang ada dipengungsian sangat berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan kepada warga Jono Oge.
Selain bantuan logistik, kondisi trauma yang dialami oleh warga korban gempa merupakan hal yang tidak sepele, yang disebabkan karena kehilangan anggota keluarga akibat bencana yang terjadi, harta benda hancur, surat-surat penting dan berharga lenyap. Hal tersebut merupakan dampak gempa, yang tidak hanya mengguncang fisik tetapi juga psikis. Selain itu, korban yang merasakan kelaparan dan kehausan karena bantuan yang belum mereka terima, kesulitan mendapatkan makanan dan minuman, terputusnya akses juga menambah guncangan kejiwaan para korban.
Oleh karena itu, Palang Merah Indonesia (PMI) melaksanakan Program Dukungan Psikososial (Psikososial Support Program/PSP) untuk korban gempa, selain mengirimkan banyak bantuan logistik, layanan kesehatan, penyediaan air bersih, dan pemulihan hubungan keluarga (restoring family link). Layanan PSP PMI ini adalah kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan psikososoial individu maupun masyarakat. Pada situasi bencana, PSP dapat diberikan pada fase mana saja (fase emergensi hingga fase rekonstruksi) tetapi bentukan akan berbeda-beda. Kegiatan PSP disesuaikan dengan kebiasaan, kebudayaan lokal setempat, dan kebutuhan dari masyarakat.
Sebagai seorang Kepala Desa Jono Oge, Darius ternyata harus dievakuasi ke rumah sakit lapangan. Hal ini dikarenakan sakit kaki kiri yang dialaminya membuatnya tidak bisa berjalan. Penyakit gula dan banyak nanah di kakinya mengharuskannya untuk melakukan tindakan operasi.
b. Tahap 2 : Penguatan Posko Masyarakat Penanganan Bencana Tingkat Dusun di Desa Jono Oge
Kesulitan dalam proses evakuasi, pencarian, dan penyelamatan korban di wilayah Jono Oge, Sulawesi Tengah, pascabencana gempa dan tsunami terilang cukup sulit. Di Jono Oge, 4 desa terdampak parah dan 2 desa mengalami pergeseran. Diperkirakan, bangunan yang rusak mencapai 534 unit. Pasca bencana, area seluas 202 hektar itu kondisinya berlumpur. Dibutuhkan 6 unit ekskavator amfibi untuk melakukan proses evakuasi. Namun demikian, ekskavator tersebut sulit ditemukan. Pasca bencana, kondisi di Desa Jono Oge tanah sulit dievakuasi. Sebagian tanah sudah mengering, namun banyak bagian tanah yang masih sangat basah sehingga menyulitkan proses pencarian. Desa Jono Oge di Kabupaten Sigi merupakan salah satu daerah yang terdampak fenomena likuifaksi. Pasca bencana, kawasan tersebut terisolir. Luas wilayah ambles di Jono Oge 202 hektare. Namun, walaupun wilayah ambles di Jono Oge lebih luas, kerusakan bangunan lebih sedikit dibandigkan daerah lainnya. Hal tersebut dikarenakan pemukiman di wilayah ini masih jarang.
Di Jono Oge, jumlah korban tertimbun tidak sebanyak di dua wilayah lainnya, yaitu Petobo dan Balaroa, lantaran area tersebut lebih banyak digunakan untuk kegiatan bercocok tanam daripada permukiman. Dibandingkan dengan luas areal terdampak dan jumlah rumah rusak, jumlah korban yang ditemukan tergolong sedikit. Kemungkinan, ketiadaan alat berat amfibi menyebabkan jumlah korban yang berhasil dievakuasi lebih sedikit. Kondisi lumpur yang basah menyulitkan tim gabungan untuk mengevakuasi korban.
Beberapa langkah pemulihan pasca bencana dilakukan, yang diantaranya mencakup evakuasi dan penyelamatan korban, kemudian penyaluran bantuan secara merata sampai daerah terisolir. Pemulihan ekonomi akan dilakukan melalui pembukaan kembali pasar, toko dan bank. Pemulihan jaringan listrik dan air, serta distribusi bahan bakar minyak ke seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum juga dilakukan supaya tidak terjadi kekosongan pasokan.
Sejumlah warga korban bencana yang sudah kembali dari pengungsian mulai membangun hunian sementara agar bisa mereka tempati untuk istirahat dan berlindung dari teriknya matahari dan hujan. Menurut warga, meski hanya hunian sementara yang serba darurat, yang terpenting adalah tidak tinggal di lokasi pengungsian, dengan alasan lebih nyaman dan tenang apabila tinggal di areal permukiman sendiri dari pada bertahan di pengungsian.
c. Tahap 3 : Program Posko Masyarakat Penanganan Bencana Tingkat Dusun di Desa Jonoge
Dalam tahapan program pendampingan posko masyarakat penanganan bencana tingkat dusun terdapat tahapan 3 yang berisi program Posko Masyarakat Penanganan Bencana Tingkat Dusun dimana di dalamnya terdapat program yang berkaitan dengan semua kebutuhan warga mulai dari sandang, papan, pangan, air bersih, kesehatan, pendidikan ,fasilitas umum, dll. Serta ada juga program mitigasi bencana guna mengurangi resiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaan dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Namun, hal tersebut belum terealisasikan bahkan terimplikasikan secara nyata. Warga desa Jonoge masih merasa kesulitan, terutama dalam mencukupi kebutuhan makanan, air bersih, pendidikan yang terhambat, serta mata pencaharian yang hilang karena bencana tersebut. Tempat untuk mengungsi pun sangat miris karena dibuat oleh para warga desa Jonoge sendiri yaitu tenda-tenda yang seadanya hanya untuk tempat mereka berlindung. Sangat disayangkan peran pemerintah dirasa tidak cepat tanggap dalam mengatasi / pun membantu warga di desa Jonoge. Sudah seharusnya pemerintah dan LSM bertindak lebih cepat lagi dengan program yang sudah ada, karena seiring berjalannya waktu jika tidak diatasi / tidak ada bantuan warga akan merasa lebih kesulitan.
C. PENUTUP
Dalam tahap pertama, pembentukan posko penanganan bencana di Desa Jono Oge sesaat pasca bencana tidak terjadi proses pembentukan posko. Karena dampak dari bencana gempa bumi tidak memungkinkan untuk terbentuknya posko. Akibat timbunan lumpur yang sangat banyak. Sehingga pengungsi diungsikan ke posko-posko di desa tetangga. Dari sini terlihat kepada desa Darius memiliki komunikasi yang baik dengan pihak luar. Yang artinya sifat kepemimpinan dari kepala desa Darius yaitu komunikatif.
Sedangkan dalam tahap kedua, yaitu penguatan posko masyarakat penanganan bencana di Desa Jono Oge lebih kepada penyaluran bantuan dan penguatan ekonomi dan infrastruktur. Dan bahkan beberapa masyarakat sudah dapat membuat rumah sementara. Sehingga dapat dikatakan sudah cukup baik dan sesuai dengan prosedur. Sehingga sifat kepemimpinan kepala desa Darius dalam hal ini yang terlihat jelas yaitu responsif.
Dan dalam tahap ketiga, secara keseluruhan program posko masyarakat penanganan bencana sayangnya masih tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Dan cenderung tidak sistematis. Karena bantuan dari pemerintah dikira kurang maksimal dan terlalu lambat. Sehingga diindikasi bahwa ini dapat terjadi karena perencanaan dari kepala desa Darius sendiri yang kurang matang dalam menyusun program posko masyarakat sebelumnya.
Sehingga disimpulkan bahwa kepemimpinan dari kepala desa Darius dalam menangani bencana gempa bumi di desa Jono Oge yaitu komunikatif, responsive, namun sayangnya kurang dalam hal perencanaan.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, A. (2018, Oktober). Masa Tanggap Darurat Berakhir, PMI Sigi Bangun Selter Terpadu. Kompas.com, Retrieved from https://regional.kompas.com/read/2018/10/27/09375551/masa-tanggap-darurat-berakhir-pmi-sigi-bangun-selter-terpadu.
Antara. (2018, November). Kembali dari Pengungsian, Warga Jono Oge Bangun Hunian Sementara. Okezone News, Retrieved from https://news.okezone.com/read/2018/11/07/340/1974427/kembali-dari-pengungsian-warga-jono-oge-bangun-hunian-sementara
Antara. (2018, November). Warga Desa Jonoge di Sigi Butuh Bantuan Makanan dan Air Bersih. Okezone News, Retrieved from https://news.okezone.com/read/2018/11/06/340/1973881/warga-desa-jonoge-di-sigi-butuh-bantuan-makanan-dan-air-bersih
Azhar, R, A. (2018, Oktober). Warga di Sigi Masih Trauma Suara Aum saat Gempa Mengguncang. Kompas.com, Retrieved from https://regional.kompas.com/read/2018/10/15/14381901/warga-di-sigi-masih-trauma-suara-aum-saat-gempa-mengguncang?page=all
Chairunnisa, N. (2018, Oktober). Tempo.co, Retrieved from https://nasional.tempo.co/read/1133978/bnpb-evakuasi-korban-di-jono-oge-terkendala-alat-berat
Farisa, F, C. (2018, Oktober). Evakuasi Sulit di Petobo hingga Jono Oge, 5000 Orang Diperkirakan Masih Tertimbun. Kompas.com, Retrieved from https://nasional.kompas.com/read/2018/10/09/17332451/evakuasi-sulit-di-petobo-hingga-jono-oge-5000-orang-diperkirakan-masih
Farisa, F, C. (2018, September). Begini Kronologi Gempa dan Tsunami Palu-Donggala yang Tewaskan Ratusan Orang. Kompas.com, Retrieved from https://nasional.kompas.com/read/2018/09/29/16415971/begini-kronologi-gempa-dan-tsunami-palu-donggala-yang-tewaskan-ratusan-orang
Purnama, S, G. (2017). MODUL MANAJEMEN BENCANA. Bali: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Program Studi Kesehatan Masyarakat
Putra, M, E. (2018, Oktober). Pagi Ini, Kepala Desa Jono Oge Dievakuasi Dompet Dhuafa ke Rumah Sakit Lapangan. Kbk News, Retrieved from http://www.kbknews.id/2018/10/29/pagi-ini-kepala-desa-jono-oge-dievakuasi-dompet-dhuafa-ke-rumah-sakit-lapangan/
Pristanto, A. I. (2010). UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN MASYARAKAT
TENTANG MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI DI DESA TIRTOMARTANI KECAMATAN KALASAN KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Retrieved from
http://eprints.uny.ac.id/494/1/ADHITYA_IRVAN_PRISTANTO.pdf
Ramadhan, A. (2018, Oktober). Desa Jono Oge Kabupaten Sigi belum tersentuh bantuan. Antara News, Retrieved from https://www.antaranews.com/berita/754821/desa-jono-oge-kabupaten-sigi-belum-tersentuh-bantuan
Setiawanto, B. (2018, Oktober). Program dukungan psikososial ceriakan korban gempa. Antara News, Retrieved from https://www.antaranews.com/berita/756523/program-dukungan psikososial-ceriakan-korban-gempa
VOA Indonesia. (2018, Oktober). Tiga Faktor Penyebab Tsunami Mematikan di Palu. Retrieved from https://www.voaindonesia.com/a/tiga-faktor-penyebab-tsunami-mematikan-di-palu/4595806.html