Hubungan Ilmu, Filsafat, dan Agama di Era Kontemporer
Monday, May 11, 2020
Edit
Oleh : Muhammad Rizki Mulyanudin (Ilmu Administrasi Publik Unpad 2017)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengan makin meluas dan makin bertambahnya pengetahuan kita maka akan terasa pulalah kebutuhan akan suatu pandangan yang mengenai keseluruhan, yang meliputi semua lapangan, akan suatu sintesa yang mempersatukan berbagai lapangan itu, yang memperlihatkan semuanya dalam satu pandangan. Dengan perkataan lain akan filsafat. Keinginan untuk memperdalam dan menyatukan pengetahuan kita ini timbul dari dan sesuai dengan kodrat manusia. Karena manusia melebihi semua makhluk lainnya, justru karena ia mempunyai pikiran, mempunyai jiwa-rohani yang mengatasi kebendaan atau materi belaka. Dengan demikian maka tidaklah mengherankan bahwa setiap bangsa mempunyai ahli-ahli pemikirannya sendiri. Memang benar tidak semua bangsa berhasil memperkembangkan filsafat sampai ke tingkat kesempurnaannya, sampai mencapai tingkatan ilmiah. Akan tetapi filsafat dalam arti yang lebih luas, yaitu dlam arti mencari kebenaran itu, niscaya ada, biarpun hanya sedikit saja.
Bangsa kita dahulu belum mengalamibekembangan pikiran filsafat yang sampai ke tingkat ilmiahnya. Namu, dalam kesusasteraan kita terdapat juga pikiran-pikiran yang mendalam, yang merupakan percobaan filsafat. Misalnya petikan dari Suluk Ngasmara ini: “ngalap pawarta kang ening/pawartane wong kang mulyo/angrasani ing jatine/tafsiring nepi lan isbat/kang sejatining ora/napi jinis wastanipun/kapindo napi-nakiran”. Dalam kutipan ini tersinggunglah apa yang disebut filsafat, yaitu: “angrasani ing jatine” atau permenungan tentang kebenaran yang sedlam-dalamnya.
Dan dari filsafat tersebut lahirlah anak filsafat yaitu ilmu. Ilmu bersifat analitis, ilmu pengetahuan hanya menggarap salah satu lapangan pengetahuan sebagai obyek formulanya. Sedangkan filsafat belajar dari ilmu pengetahuan dengan menekankan keseluruhan dari sesuatu (sinoptis), karena keseluruhan mempunyai sifat sendiri yang tidak ada pada bagian-bagiannya. Dan juga ada dua ilmu pengetahuan yang universal yang meliputi seluruh hidup manusia dan yang untuk sebagian mengenai persoalan-persoalan yang sama, sehingga terasa haruslah ada suatu hubungan antara kedua ilmu itu. Adanya suatu sumber pengetahuan yang melampaui kekuatan akal budi kita sendiri, yaitu agama. Jadi, apa sebenarnya hubungan antara ilmu, filsafat dan agama? Khusunya di era kontemporer?. Dalam makalah ini kelompok saya akan menjelaskan mengenaik kasus dan hubungan ketiga hal tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa contoh kasus yang berhubungan dengan Ilmu, Filsafat, dan Agama?
2. Bagaimana analisis kasus hubungan ilmu, filsafat dan agama di era kontemporer?
3. Bagaimana solusi atas permasalahan kasus hubungan ilmu, filsafat dan agama di era kontemporer?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami contoh kasus dari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama.
2. Untuk memahami tentang bagaimana analisis kasus hubungan ilmu, filsafat, dan agama di era kontemporer.
3. Untuk mengetahui solusi atas permasalahan kasus hubungan ilmu, filsafat, dan agama di era kontemporer.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah antara lain:
1. Kepada penulis
Untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat ilmu dan logika, serta untuk menambah pengetahuan mengenai hubungan antara ilmu, filsafat dan agama di era kontemporer.
2. Kepada pembaca
Sebagai informasi dan menambah pengetahuan kepada para pembaca mengenail hubungan antara ilmu, filsafat dan agama di era kontemporer.
BAB II
PENDEKATAN TEORITIK KONSEPTUAL
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Definisi Ilmu
2.1.1.1 Pengetahuan
Pengetahuan berasal dari bahasa Inggris yaitu knowledge. James K. Feibleman merumuskan: “Knowldege: relation between object and subject.” Yang disebut subyek di sini, ialah: manusia sebagai kesatuan berbagai macam kesanggupan (akal, pancaindra dsb). yang digunakan untuk mengetahui sesuatu, jelasnya manusia sebagai kesadaran, … yang disebut obyek dalam pengetahuan ialah benda atau hal yang diselidiki oleh pengetahuan ialah benda atau hal yang diselidiki oleh pengetahuan tsb., sekedar benda (hal) merupakan realitas bagi manusia yang menyelidiki”. (Endang, 1987:44)
Pengetahuan muncul dari rasa ingin tahu manusia terhadap sesuatu. Manusia dianugerahi kecerdasan akal untuk menginterpretasikan interaksi-interaksi yang terjadi. Dalam hal ini, Endang (1987:45-46) menuliskan empat macam pengetahuan antara lain:
a. Pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan tentang hal-hal yang biasa, yang sehari-hari, yang selanjutnya kita sebut: pengetahuan;
b. Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang mempunyai sistema dan metode tertentu, yang selanjutnya kita sebut: ilmu pengetahuan;
c. Pengetahuan filosofis, yaitu semacam “ilmu” yang istimewa, yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak terjawab oleh ilmu-ilmu biasa; yang selanjutnya kita sebut: filsafat.
d. Pengetahuan theologis, yaitu pengetahuan keagamaan, pengetahuan tentang agama, pengetahuan tentang pemberitahuan dari Tuhan.
2.1.1.2 Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu bagian dari pengetahuan, singkatnya disebut ilmu, yang dalam bahasa Inggris disebut science (bahasa latin “scinre” yakni “to know”), Wissenschaft (Jerman) dan wetenschap (Belanda). Secara terminologis, ilmu adalah semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda, dan syarat-syarat yang khas.
R.B.S. Fudyartanta, seorang sarjana psikologi dari Universitas Gadjah Mada, mengemukakan: “Yang dimaksudkan dengan ilmu pengetahuan ialah susunan yang sistematis daripada kenyataan-kenyataan ilmiah mengenai sesuatu objek atau masalah yang diperoleh dari pemikiran yang runtut (hasil logika formil dan logika materiil).”
Prof. Drs Harsojo, Guru besar antropologi di Universitas Padjadjaran, menuliskan bahwa ilmu itu:
- Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan;
- Suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati, oleh pancaindra manusia;
- Suatu cara menganalisa yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan sesuatu proposisi dalam bentuk: “Jika…; maka….”
V. Afanasyef , seorang ahli pemikir Marxist berkebangsaan Rusia, mengemukakan bahwa “Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dalam konsep-konsep, kategori-kategori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalama praktis.”
Dapat dirumuskan bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu upaya pemahaman manusia yang disusun dalam sistema mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidiki (alam, manusia dan agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan manusia itu, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental. (Endang, 1987:49-50).
2.1.1.3 Obyek Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan memiliki dua obyek sebagai penentuan, yaitu obyek materia (material object) dan obyek forma (formal object). Yang dimaksud obyek materia adalah keseluruhan lapangan atau bahan yang menjadi sumber obyek penyelidikan suatu ilmu. Sedangkan obyek forma merupakan obyek materia yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga membedakan ilmu yang satu dari ilmu lainnya, jika berobyek materia sama. (Endang, 1987:50). Obyek forma ialah sudut pandang tertentu yang menentukan macam ilmu.
Pada dasarnya, obyek ilmu pengetahuan dibedakan menjadi alam dan manusia. Obyek alam dipelajari dalam ilmu pengetahuan alam, sedangkan objek manusia dipelajari dalam ilmu pengetahuan manusia.
2.1.1.4 Cabang-Cabang Ilmu Pengetahuan
Endang (1987:55-56) membagi tiga kelompok ilmu pengetahuan berdasarkan acuan dari pembagian Stuart Chase dalam bukunya The Proper Study of Mankind, antara lain sebagai berikut:
A. Ilmu-ilmu Pengetahuan Alam (Natural Sciences):
1) Biologi;
2) Antropologi fisik;
3) Ilmu kedokteran;
4) Ilmu farmasi;
5) Ilmu pertanian;
6) Ilmu pasti;
7) Ilmu alam;
8) Ilmu teknik;
9) Geologi;
10) dan lain sebagainya.
B. Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (Social Sciences):
1) Ilmu hukum;
2) Ilmu ekonomi;
3) Ilmu jiwa sosial;
4) Ilmu bumi sosial;
5) Sosiologi;
6) Antropologi budaya dan sosial;
7) Ilmu sejarah;
8) Ilmu politik;
9) Ilmu pendidikan;
10) Publisistik dan jurnalistik;
11) dan lain sebagainya.
C. Humaniora (Humanities Studies):
1) Ilmu agama;
2) Ilmu filsafat;
3) Ilmu bahasa;
4) Ilmu seni;
5) Ilmu jiwa;
6) dan lain sebagainya.
Secara garis besar, ilmu pengetahuan dibagi atas cabang ilmu pengetahuan sosial (sosial humaniora) yang obyeknya merupakan tingkah laku manusia dan cabang ilmu pengetahuan alam (saintis) yang merujuk pada alam dan bidang ilmu yang pasti atau konkret, alias eksakta.
2.1.1.5 Fungsi Ilmu Pengetahuan
Drs R.B.S. Fudyartanta, dosen psikologi Universitas Gadjah Mada, menuturkan empat macam fungsi ilmu pengetahuan, yakni:
1) Fungsi deskriptif: menggambarkan, melukiskan dan memaparkan suatu obyek atau masalah sehingga mudah dipelajari oleh peneliti;
2) Fungsi pengembangan: melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan menemukan hasil ilmu pengetahuan yang baru;
3) Fungsi prediksi: meramalkan kejadian-kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya;
4) Fungsi kontrol: berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki;
Tegasnya: Fungsi ilmu pengetahuan ialah untuk kebutuhan hidup manusia di dalam pelbagai bidangnya. (Endang, 1987:60-61)
2.1.1.6 Metode Ilmu Pengetahuan
Dalam mencapai kebenaran ilmu pengetahuan, tentu harus memenuhi berbagai proses yang dikenal dengan metode ilmu pengetahuan atau metode ilmiah. Achmad Rostandi, dalam bukunya “Ilmu, Filsafat, dan Agama” menuliskan bahwa: ”cara atau jalan yang dilalui oleh proses ilmu sehingga mencapai kebenaran adalah bermacam-macam, tergantung kepada sifat ilmu itu sendiri, ilmu pengetahuan alamkah atau ilmu sosial.” (Endang, 1987:61).
Dr. Winarno Surachmad, dalam bukunya Pengantar Penyelidikan Ilmiah menjelaskan sepuluh langkah yang harus ditempuh dalam penyelidikan ilmiah, yaitu:
1) Pemilihan masalah;
2) Studi eksplorasi;
3) Rumusan teori dan anggapan dasar;
4) Rumusan hipotesa;
5) Penetapan teknik penguji hipotesa;
6) Penyusunan agenda;
7) Pengumpulan data;
8) Pengolahan data;
9) Penyimpulan; dan
10) Publikasi hasil penyelidikan.
Sebuah pengetahuan perlu menjalani serangkaian proses panjang hingga bisa disebut ilmu pengetahuan, atau bisa disebut metode ilmiah. Endang Saifuddin (1987:63-64) menjabarkan susunan sebagai berikut:
1) Pengumpulan (koleksi) data dan fakta;
2) Pengamatan (observasi) data dan fakta;
3) Pemilihan (seleksi) data dan fakta;
4) Penggolongan (klasifikasi) data dan fakta;
5) Penafsiran (interpretasi) data dan fakta;
6) Penarikan kesimpulan umum (generalisasi);
7) Perumusan (hipotesa);
8) Pengujian (verifikasi) terhadap hipotesa melalui riset, empiri, dan eksperimen;
9) Penilaian (evaluasi); menerima atau menolak, atau menambah, atau merubah hipotesa;
10) Perumusan teori ilmu pengetahuan; dan
11) Perumusan dalil atau hukum ilmu pengetahuan.
2.1.1.7 Batasan dan Relativitas Ilmu Pengetahuan
Secara ontologis, sebuah obyek ilmu pengetahuan merupakan pembatas dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Manusia berusaha memahami fenomena yang telah terjadi atas dasar keingintahuan. Dapat dikatakan bahwa ilmu dibatasi oleh pengalaman manusia, dan hal-hal yang belum dialami oleh manusia dijelaskan oleh pengetahuan lain, contohnya ilmu agama.
Jean Paul Sartre (1905), seorang filsuf dan pengarang roman serta cerita sandiwara bangsa Perancis, menuturkan bahwa:
“Apakah pengetahuan? Ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu hal yang sudah selesai terpikirkan, sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil penelitian dan percobaan-percobaan baru yang dilakukan dengan metode-metode baru atau karena adanya perlengkapan-perlengkapan yang lebih sempurna. Dan penemuan-penemuan baru ini akan disisihkan pula oleh ahli-ahli lainnya, kadang-kadang kembali mundur, tetapi seringnya lebih maju. Begitulah selalu akan terjadi.”
Sedangkan relativitas ilmu pengetahuan menurut Prof. Harsojo, yaitu:
“Bahwa kebenaran ilmiah itu tidaklah absolut dan final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk peninjauan kembali berdasarkan atas adanya fakta-fakta baru yang sebelumnya tidak diketahui. Kebenaran ilmiah tidak tergantung kepada siapa yang menghasilkan teori ilmu itu. Ilmu mengoreksi dirinya, dan ini merupakan satu bagian yang penting daripada kehidupan ilmu.”
Dapat disimpulkan bahwa:
1. Tidak semua hal-hal dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan;
2. Nilai kebenaran dalam ilmu pengetahuan dapat bernilai positif (sampai saat ini) dan relatif (tidak mutlak);
3. Persoalan-persoalan yang di tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan, diserahkan kepada filsafat.
2.1.2 Definisi Filsafat
2.1.2.1 Arti Filsafat
Prof. I.R. Pudjawijatna dalam bukunya Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, menuturkan arti filsafat, yaitu:
“Filo artinya ‘cinta’ dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dank arena ingin itu lalu berusaha mencapai yang diingininya itu. Sofia artinya ‘kebijaksanaan’. Bijaksana ini pun kata asing, dan artinya ‘pandai’ : mengerti dengan mendalam. Jadi menurut namanya saja filsafat boleh dimaknakan: ‘ingin mengerti dengan mendalam’ atau ‘sinta kepada kebijaksanaan’.”
Prof. Dr. N. Drijarkara S.J., seorang filsuf Indonesia dalam bukunya Percikan Filsafat (1962) menjelaskan arti filsafat, yaitu:
“Filsafat adalah fikiran manusia, yang radikal, artinya, yang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat-pendapat “yang diterima saja” mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dan lain-lain pandangan dan sikap praktis.”
Filsafat merupakan ilmu yang berusaha menjawab persoalan-persoalan yang di luar jangkauan dan tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan umum. Filsafat berusaha mendalami segala sesuatu secara radikal, integral, dan sistematik.
2.1.2.2 Obyek Filsafat
Menurut Endang (1987:87-88) obyek filsafat tidak berbeda dengan obyek ilmu pengetahuan, yaitu obyek materia dan obyek forma.
1. Obyek materia filsafat yaitu sarwa-yang-ada, yang garis besarnya yaitu:
a. Hakikat Tuhan;
b. Hakikat alam; dan
c. Hakikat manusia.
2. Obyek forma filsafat yakni usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang obyek material filsafat (sarwa-yang-ada).
Dr. Oemar Amin Hoesin, dalam bukunya Filsafat Islam (1961) menjawab pertanyaan “Apakah yang menjadi lapangan penyelidikan filsafat?” dan jawabannya:
“Oleh karena manusia mempunyai fikiran atau akal yang aktif, maka ia mempunyai kecenderungan hendak berfikir tentang segala sesuatu dalam alam semesta, terhadap segala yang ada, dan yang mungkin ada. Obyek sebagai tersebut di atas itu adalah menjadi obyek materia filsafat.”
2.1.2.3 Cabang-cabang Filsafat
Filsafat baru memiliki beragam cabang, yaitu metafisika, logika, estetika, epistemology, dan filsafat-filsafat lainnya.
1. Metafisika: filsafat yang ada di balik fisika, hakikatnya bersifat transenden, di luar atau di atas jangkauan pengalaman manusia.
2. Logika: filsafat yang berisi fikiran yang benar dan salah ; dunia luar, maupun jiwa atau pikiran manusia.
Selain itu, terdapat macam filsafat yang menjelaskan hakikat pengetahuan manusia, antara lain:
1. Realisme, aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia merupakan hal yang baik dan tepat daripada kebenaran, dalam pengetahuan yang baik tersirat kebenaran seperti sesungguhnya ada.
2. Idealisme, ialah aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan tidak lain merupakan kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia sekaliannya terletak di luarnya.
Aliran filsafat lainnya, yakni sebagai berikut:
1. Existensialisme, aliran yang berpendirian bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang konkrit, yaitu manusia sebagai existensi; dan sehubungan dengan titik tolak ini maka bagi manusia existensi itu mendahului essensi.
2. Pragmatisme, aliran yang berpandangan bahwa benar tidaknya suatu dalil, teori semata-mata bergantung pada faedah yang didapat dalam kehidupan.
3. Fenomenologi, aliran yang berpendirian bahwa sebuah pengertian dapat dicapai berdasarkan pengamatan mengenai fenomena realitas.
4. Positivisme, aliran yang berpegang teguh pada peristiwa-peristiwa positif atau peristiwa yang dialami manusia.
5. Aliran Etika Hedonisme, aliran yang berpendapat bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang menimbulkan kenikmatan.
6. Aliran Etika Utilitarianisme, aliran yang berasumsi bahwa baik dan buruk perbuatan manusia itu dilihat dari besar kecilnya manfaat bagi manusia.
7. Aliran Etika Vitalisme, ialah aliran yang berkeyakinan bahwa perbuatan dikatakan baik apabila tidak adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan tersebut.
8. Aliran Etika Theologis, yaitu aliran yang berpendirian bahwa baik dan buruk perbuatan dapat diukur dari kesesuaian dengan perintah Tuhan (theos).
Aliran-aliran teori pengetahuan berusaha menjawab pertanyaan bagaimana manusia mendapat pengetahuannya (apa pengetahuan itu benar dan di mana batas-batas pengetahuan berlaku). Aliran-aliran tersebut antara lain:
1. Rasionalisme, aliran yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pikiran, rasio, jiwa manusia.
2. Empirisme, aliran yang mengemukakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman manusia, dan dunia luar yang ditangkap panca indera.
3. Kritisme, aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan bersumber dari kuantitas (monisme, dualisme, dan pluralisme) dan kualitas (spiritualisme, materialisme, aliran teologi, determinisme, dan indeterminisme)
2.1.2.4 Tujuan, Fungsi, dan Guna Filsafat
Harold H. Titus menjelaskan bahwa tujuan dari filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom). Harold H. Titus menurutkan bahwa filsafat diharuskan dapat membantu membangun kepercayaan orang-orang terhadap agama atas dasar yang matang secara intelektual. Sedangkan fungsi filsafat dijelaskan oleh Radhakrishnan dalam bukunya History of Philosophy, yaitu:
“Tugas filsafat bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa di mana kita hidup melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun arah dan menuntun pada jalan-jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan nasional, rasial dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang-lingkupnya maupun dalam semangatnya.”
2.1.2.5 Batas dan Relativitas Filsafat
S.H. Saksena dalam bukunya Kedudukan Filsafat Dewasa Ini, menuturkan bahwa:
“… Satu-satunya alat yang dipergunakan oleh filsafat ialah akal. Sedangkan akal merupakan hanya satu bagian dari rohani manusia … Keseluruhan kebenaran bisa diketahui dengan keseluruhan rohani manusia – perasaannya, akalnya, intuisinya, pikirannya, nalurinya, pendeknya seluruh kediriannya.”
Menurut Endang Saifuddin, timbul ketidakpercayaan dari pernyataan S.H Saksena dimana keseluruhan rohani manusia dapat mengetahui kebenaran. Seperti yang diketahui, manusia tidak selalu sempurna dan kesempurnaan hanya milik Tuhan YME, maka dipertanyakan timbullah pertanyaan bagaimana bisa manusia mengetahui semua kebenaran padahal hanya Tuhan Yang Maha Sempurna yang Maha tahu?
Beliau menuturkan kembali bahwa kebenaran filsafat bersifat spekulatif (pemikiran dalam-dalam secara teori), sekaligus subyektif dan juga alternatif, di waktu yang sama juga dapat bersifat relatif.
2.1.3 Definisi Agama
2.1.3.1 Agama
Fachroeddin Al-Kahiri dalam Islam menoeroet Faham Filosofie, Choetbah di radio mengartikan agama dari segi etimologi, yakni agama berasal dari dua kata a yang berarti tidak dan gama yang artinya kacau. Jelasnya kata agama adalah teratur, beres. Dapat disimpulkan bahwa agama ialah peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai sesuatu yang ghaib, ataupun yang mengenai budi pekerti, pergaulan hidup bersama dan lainnya.
Sedangkan dalam Ensiklopedia Indonesia, agama diartikan sebagai:
“Agama (umum), manusia mengaku dalam agama adanya Yang Suci: manusia itu insaf, bahwa ada suatu kekuasaan yang memungkinkan dan melebihi segala yang ada. Kekuasaan inilah yang dianggap sebagai asal atau Khalik segala yang ada. Tentang kekuasaan ini bermacam-macam bayangan yang terdapat pada manusia, demikian pula cara membayangkannya. Demikianlah Tuhan dianggap oleh manusia sebagai tenaga gaib di seluruh dunia dan dalam unsur-unsurnya atau sebagai Khalik rohani. Tenaga gaib ini dapat menjelma a.1. dalam alam (animisme), dalam buku suci (Torat) atau dalam manusia (Kristus). “
Endang Saifuddin (1987:124) menyimpulkan bahwa baik religi (religion), maupun din, dan agama memiliki arti etimologi masing-masing, pun riwayat dan sejarahnya. Namun, dalam arti terminologis dan teknik ketiga istilah berinti nama yang sama. “Tegasnya religion (bahasa Inggris) = religie (bahasa Belanda) = Din (bahasa Arab) = agama (bahasa Indonesia).”
2.1.3.2 Klasifikasi Agama
Ahmad Abdullah Al-Masdoosi dalam bukunya Living Religions of the world (1962) menuliskan klasifikasi agama, antara lain:
1. Revealed and non-revealed
Revealed religions (agama wahyu) merujuk kepada agama yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada Rasul-RasulNya dan kepada Kitab-KitabNya serta pesannya untuk disebarkan kepada segenap umat manusia (seperti Yudaisme, Kristen dan Islam). Sedangkan non-revealed merupakan agama yang tidak memandang essensial penyerahan manusia kepada tata-aturan Ilahi (Taoisme, Confusianisme, Paganisme). Berikut perbedaan antara revealed and non-revealed religions:
• Agama wahyu berpokok pada konsep keesaan Tuhan, sedangkan agama bukan wahyu tidak harus demikian;
• Agama wahyu beriman kepada NAbi, sedangkan agama bukan wahyu tidak;
• Agama wahyu sumber utama acuan baik dan buruk ada pada kitab suci yang diwahyukan, sedangkan agama bukan wahyu kitab suci yang diwahyukan tidak essensial;
• Semua agama wahyu lahir di Timur Tengah, sedangkan agama bukan wahyu tidak (kecuali Paganisme);
• Agama wahyu timbul di daerah-daerah yang historis di bawah pengaruh ras Semitik, sedangkan agama bukan wahyu lahir di luar area Semitik;
• Agama wahyu disebut juga agama missionary (sesuai dengan ajaran historik), sedangkan agama bukan wahyu bukan demikian;
• Agama wahyu bersifat tegas dan jelas, sedangkan agama bukan wahyu kabur dan sangat elastik.
2. Agama missionary dan agama non-missionary
Agama missionary antara lain Buddhisme, Kristen dan Islam. Sedangkan yang termasuk agama non-missionary yakni Yudaisme, Brahmanisme, dan Zoroasterianisme. Namun menurutnya, hanya Islam yang dapat dikatakan agama missionary, dan seiring perkembangan zaman agama Nasrani dan Buddhisme menjadi agama missionary.
3. Klasifikasi Rasial Geografikal
Klasifikasi ini dibagi atas Semitik (Yahudi, Nasrani dan Islam); Arya (Hinduisme, Jainisme, Zoroasterianisme, dan Sikhisme); dan Monggolian (Confusianisme, Taoisme, dan Shintoisme).
4. Agama Samawi dan Agama bukan Samawi
Agama adalah satu sistema tata keimanan (credo) atas sesuatu yang ada dan mutlak di luar manusia. Agama pun merupakan satu sistem tata peribadatan (ritus) manusia terhadap yang dianggapnya Yang Mutlak. Selain itu, agama juga berarti satu sistema tata kaidah (norma) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan lainnya, yang sesuai dengan tata keimanan dan tata peribadatan. Agama samawi (agama langit, agama wahyu, agama profetis, revealed religion, Din-as-Samawi) yang merupakan Islam; dan agama bukan samawi atau agama budaya (agama bumi, agama filsafat, agama ra’yu, non-revealed religion, natural religion, Din-at-Thabi’I, dan Din al-Arhdi).
2.1.4 Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Kita berusaha melihat realita hubungannya, berdasarkan suatu asumsi, bahwa keduanya merupakan kegiatan manusia. Kegiatan manusia dapat diartikan dalam prosesnya dan juga dalama hasilnya. Dilihat dari hasilnya, filsafat dan ilmu merupakan hasil berpikir manusia secara sadar, sedangkan dari prosesnya, filsafat dan ilmu menunjukkan suatu kegiatan yang berusaha untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan manusia (memperoleh kebenaran dan pengetahuan), dengan menggunakan metode-metode atau prosedur’prosedur tertentu secara sistematis dan kritis.
Filsafat ilmu memiliki hubungan saling melengkapi satu sama lainnya. Perbedaan antara kedua kegiatan manusia tersebut, bukan unruk dipertentangkan, melainkan untuk saling mengisi, saling melengkapi karena pada hakikatnya, perbedaan itu terjadi disebabkan cara pendekatan yang berbeda.
A. Hubungan Filsafat dan Ilmu
Henderson, memberikan gambaran hubungan (dalam hal ini perbedaan) antara filsafat dan ilmu sebagai berikut:
• Ilmu (science)
1. Anak filsafat
2. Analitis, memeriksa semua gejala melalui unsur terkecilnya untuk memperoleh gambaran senyatanya menurut bagiannya.
3. Menekankan fakta-fakta untuk melukiskan obyeknya, netral dan mengabstrakkan faktor keinginan dan penilaian manusia.
4. Memulai sesuatu dengan memakai asumsi-asumsi.
5. Menggunakan metode eksperimen yang terkontrol sebagai cara kerja dan sifat terpenting; menguji sesuatu dengan menggunakan inderaan.
• Filsafat
1. Induk ilmu
2. Synopsis; memandang dunia dan alam semesta sebagai keseluruhan, untuk dapat menerangkannya, menafsirkannya, dan memahaminya secara keseluruhan.
3. Bukan saja menekankan keadaan sebenarnya dari obyek, melainkan juga bagaimana seharusnya obyek itu. Manusia dan nilai merupakan faktor penting.
4. Memeriksa dan meragukan segala asumsi-asumsi.
5. Menggunakan semua penemuan ilmu penngetahuan; menguji sesuatu berdasarkan pengalaman dengan memakai pikiran.
Semua ilmu sudah dibicarakan dalam filsafat. Bahkan beberapa illmu pengetahuan lahir dari filsafat, berarti ilmu yang memisahkan diri dari filsafat. Misalnya matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, psikologi dan sosiologi.
Ilmu bersifat analitis, ilmu pengetahuan hanya menggarap salah satu lapangan pengetahua sebagai obyek formalnya. Sedangkan filsafat belajar dari ilmu pengetahuan dengan menekankan keseluruhan dari sesuatu (sinoptis), karena keseluruhan mempunyai sifat sendiri yang tidak ada pada bagian-bagiannya.
Ilmu bersifat deskriptif tentang obyeknya agar dapat menemukan fakta-fakta, teknik-teknik dan alat-alat. Filsafat tidak hanya melukiskan sesuatu, melainkan membantu manusia untuk mengambil putusan-putusan tentang tujuan, nilai-nilai dan tentang apa-apa yang harus diperbuat manusia.filsafat tidak netral, karena faktor-faktor subyektif memegang peranan penting dalam berfilsafat.
Ilmu berhubungan dengan mempersoalkan fakta-fakta yang factual, yang diperoleh dengn eksperimen, observasi, dan verifikasi, hanya berhubungan sebagian dari aspek kehidupan atau kejadian yang ada di dunia ini, sedangkan keseluruhan yang bermakna mengemukakan perbedaan antara filsafat dan ilmu sebagai berikut:
1. Ilmu berhubungan dengan lapangan yang terbatas, filsafat mencoba berhubungan dengan keseluruhan pengalaman, untuk memperoleh suatu pandangan yang lebih komperehensif tentang sesuatu.
2. Ilmu menggunakan pendekatan analitis dan deskriptif, sedangkan filsafat sintesis atau sinoptis, berhubungan dengan sifat-sifat dan kualitas alam dan hidup secara keseluruhan.
3. Ilmu menganalisis keseluruhan menjadi bagian-bagian, dari organisme menjadi oragn-organ, filsafat mencoba membedakan sesuatu dalam bentuk sintesis yang menjelaskan dan mencari makna sesuatu secara keseluruhan.
4. Ilmu menghilangkan faktor-faktor pribadi yang subyektif, sedangkan filsafat tertarik kepada personalitas, nilai-nilai, dan semua pengalaman.
5. Ilmu tertarik kepada hakikat sesuatu bagaimana adanya, sedangkan filsafat tidak hanya tertarik kepada bagian-bagian yang nyata, melainkan juga kepada kemungkinan-kemungkinan yang ideal dari suatu benda, dan nilai dan maknanya.
6. Ilmu meneliti alam, mengontrol proses alam sedangkan tugas filsafat mengadakan kritik, menilai, dan mengkoordinasikan tujuan.
7. Ilmu lebih menekankan pada deskripsi hokum-hukum fenomenal dan hubungan kasual. Filsafat tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan pertanyaan why dan how.
B. Titik Temu Filsafat dan Ilmu
Disamping bebrapa perbedaan di atas, ada beberapa titik pertemuan antara filsafat dan ilmu, yaitu:
1. Banyak ahli filsafat yang termansyuhur, telah memberikan sumbangannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya Leibniz menemukan “Diferensial Kalkulus”, whitehead dan Betrand Russel dengan teori matematikanya yang terkenal.
2. Filsafat dan ilmu pengetahuan keduanya menggunakan metode-metode reflective thinking di dalam menghadapi fakta-fakta dunia dan hidup ini.
3. Filsafat dan ilmu keduanya menunjukkan sikap kritis dan terbuka, dan memberikan perhatian yang tidak berat sebelah terhadap kebenaran.
4. Keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis.
5. Ilmu memberi filsafat sejumlah bahan-bahan deskriptif dan factual serta esensial bagi pemikiran filsafat.
6. Ilmu mengoreksi filsafat dengan jalan menghilangkan sejumlah ide-ide yang bertentangan dengan pengetahuan yang ilmiah.
7. Filsafat merangkum pengetahuan yang terpotong-potong, yang menjadikan bermacam-macam ilmu dan berbeda-beda, dan menyusun bahan-bahantersebut ke dalam suatu pandangan tentang hidup dan dunia yang lebih menyeluruh dan terpadu.
2.1.5 Hubungan Filsafat dengan Agama
A. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang otonom
Seperti yang telah dikatakan, ada dua ilmu pengetahuan universal yang meliputi seluruh hidup manusia dan yang untuk sebagian mengenai persoalan-persoalan yang sama, sehingga terasa haruslah ada suatu hubungan antara kedua ilmu itu.
Pendapat-pendapat para ahli:
1. Ada yang mengatakan: filsafat berdasarkan dan berpangkalan pada wahyu (revelation) dari Tuhan konsekuensinya ialah : Filsafat bukanlah suatu ilmu yang berdiri sendiri, yang otonom, tidak berdasarkan kodrat akal budi manusia, melainkan sama sekali tergantung dari dan ditentukan isinya oleh agama. Eksistensi filsafat menjadi: “filsafat agama”. Dalam eksistensinya yang demikian ini filsafat agama dapatlah dibedakan menjadi 2 jenis yaitu:
a) filsafat agama pada umumnya. Ini adalah hasil pemikiran dasar-dasar agama yang bersiat analitis rasional dan kritis, tetapi bebas (terlepas) dari ajaran-ajaran agama. Dalam pembahasannya tentang ajaran-ajaran agama di satu pihak bersifat membenarkan dan di lain pihak bisa bersifat mengingkarinya atau menentangnya. Oleh karena itu pembahasannya berkisar pada sifat pertanyaan yang hakiki seperti antara lain:
1. Apakah agama itu?
2. Darimanakah asalnya agama itu?
3. Pakah tujuan dari agama itu?
4. Dimanakah batas akhirnya agama itu?
b) Filsafat sesuatu agama atau theologi (ilmu agama) membahas dasar-dasar yang terdalam tentang sesuatu agama tertentu, misalnya: theology islam, theology nasrani, dan theology yahudi.pembahasannya masing-masing tidak lagi mempermasalahkan kebenaran agama yang dibahasnya iitu, Karena telah diterima sepenuhnya sebagai kebenaran. Sifat pembahasannya juga bersifat analitis, rational dari pembenaran agamaitu. Jadi tugas dari filsafat di sini ialha berusaha mengantar ajaran-ajaran agama itu ke dalam manusia sehingga dapatlah diterima dan dipahami spenuhnya secara rational.
2. Ada pula yang mengatakan: yang ada pada kita, yaitu hanyalah akal budi manusia saja: agama dan kepercayaan mereka anggap “kolot” atau “ketinggalan zaman”, paling banter hanya “perasaan” saja”. Untuk pendapat ini patutlah ditampilkan aliran filsafat ratinalisme dengan tokoh-tokohnya antara lain:
a) Rene Descartes (nama latinnya: Cartesius) yang terkenal dengan ucapannya: Cogito ergo sum; jepense doncje suis; sive existo; yang berarti: “saya berpikir karena itu saya ada”.
b) Benedictus ce Spinoza. Ia terkenal dengan ajarannya tentang substansi yang disebut “monisme”. Hanya ada satu substansi yang meliputi segala sesuatu dinamakannya “deus sive subtantie” atau “deus sive natura”. Hal ini menampakkan diri dalam dua jenis bentuk. Yang satu mempunyai tanda yang berupa keluasan/kelapangan sedang yang lain tandanya adalah kesadaran.
c) Gottfried Wilhelm eibnitz. Ia terkenal dengan ajarannya tentang “monade”. Bahwa yang merupakan kekuuatan yang sebenarnya adalah gaya atau kekuatan. Pusat-pusat gaya atau kekuatan itu mempunyai kesadaran dan kehendak seperti roh atau jiwa kita yang disebut monade-monade.
3. Menurut Filsuf Betrand Russell:
“Antara agama (theology) dan ilmu pengetahuan terlettak suatu daerah yang tak bertuan. Daerah ini diserang baik oleh agama (theology) maupun oleh ilmu pengetahuan. Dearah tak bertuan ini adalah filsafat”.
4. Menurut El-bahy dari Al-Azhar Cairo menulis sebagai berikut:
“Karena Tuhan tidak seperti manusia, karena Tuhan tidak terbatas, maka tidak terbatas apa yang diwahyukanNya, untuk kemaslahatan umat manusisa, suatu hal yang essensiil dalam perbedaan agama dan filsafat”.
Adapun pendirian kami: mengakui kedua-duanya, baik peranan kepentingan filsafat maupun peranan dan kepentingan agama. Akan tetapi kedua-duanya dibedakan. Filsafat sebagai ilmu tidaklah berdasarkan atau berpangkalan pada wahyu Allah/Agama melainkan adalah otonom lapangannya sendiri, merupakan suatu ilmu tersendiri. Jadi filsafat bukan agama dan agama bukanlah filsafat.
2.2 Metodologi Penelitian
Metode penelitian filsafat yang digunakan adalah metode analisis. Metode analisis adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian terhadap objek yang diteliti; atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian-pengertian yang lain, untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya. Jadi, dalam hal ini orang akan memperoleh sesuatu yang sifatnya baru sama sekali. Metode analisis ini dapat diterapkan terhadap pengertian-pengertian yang bersifat apriori dan aposterior. Penerapan terhadap pengertian-pengertian yang bersifat apriori akan menghasilkan “Pengetahuan analitik apriori”. Dan peneratapan terhadap pengertian-pengertian yang bersifat aposteriori akan menghasilkan “Pengetahuan analitik apostiori”. Makna apriori dalam hal ini adalah bahan peneltian yang tidak berupa pengalaman indrawi. Yang artinya bentuk dari pengertian-pengertian yang diteliti berupa sesuatu hal yang tidak dialami, bahkan hanya berupa konstruksi-konstruksi pikiran, dan atau citra pikiran yang tidak dapat digambarkan dalam kenyataan.
Sedangkan makna apostiori dalam hal ini adalah suatu bahan penelitian yang benar-benar ada. Dan telah dipastikan merupakan suatu pengalaman indrawi. Yang artinya merupakan suatu pengalaman yang telah dilalui oleh sesorang dengan menggunakan interpretasi dari panca indranya. Dan dapat dijelaskan, dan dipertanggung jawabkan sebagai sebuah bahan penelitian yang berbentuk bukti empiris.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kasus Penistaan Agama
Ir. Basuki Tjahaja Purnama, M.M., atau paling dikenal dengan panggilan Ahok, adalah Gubernur DKI Jakarta yang menjabat sejak 19 November 2014 hingga 9 Mei 2017. Belakangan ini terdengar kasus yang menyeret Ahok pada dinginnya jeruji besi, berawal dari pernyataan Ahok yang disertai dengan kutipan surat Al Maidah ayat 51 hal tersebut menjadi viral di media sosial lewat jejaring facebook milik Buni Yani. Video ini lantas memicu kemarahan sebagian besar umat Islam. Kemudian Ahok dilaporkan oleh Habib Novel Chaidir Hasan yang berprofesi sebagai alim ulama, sebagaimana Laporan Polisi Nomor LP/1010/X/2016 Bareskrim. Ahok dilaporkan karena diduga melakukan tindak pidana penghinaan agama. Setelah menjadi sorotan Ahok meminta maaf atas pernyataannya tersebut. Ahok menyatakan tidak bermaksud menyinggung umat Islam. Nyatanya pernyataan Ahok terkait dugaan penistaan agama masih memicu reaksi, demonstrasi pun pecah di depan balai kota DKI Jakarta pada Jumat, 14 Oktober 2016.
Ahok pun mendatangi Bareskrim Mabes Polri pada Senin, 24 Oktober 2016 untuk memberi klarifikasi terkait pernyataannya di Kepulauan Seribu. Namun, kekecewaan publik atas dugaan penistaan agama tersebut nyatanya tak terbendung lagi. Massa dari berbagai daerah memadati sejumlah titik di jantung ibukota termasuk di kawasan ring 1 Istana Negara. Atas nama kebebasan demokrasi, massa turun ke jalan menuntut proses hukum Ahok atas dugaan penistaan agama segera dituntaskan. Pintu Istana akhirnya terbuka, Wakil Presiden Jusuf Kalla membuka dialog dengan perwakilan demonstran. Kata sepakat pun tercapai. Pemerintah menjanjikan proses hukum Ahok akan dilakukan dengan cepat dan transparan. Ahok, terlapor dugaan penistaan agama pun memenuhi panggilan penyidik Bareskrim Mabes Polri, Senin, 7 November 2016. Proses penyelidikan terkait dugaan penistaan agama tersebut ditangani langsung oleh Kepolisian Republik Indonesia. Beberapa saksi ahli dihadirkan untuk memeriksa apakah dugaan penistaan, benar dilakukan oleh sang terlapor. Proses hukum berjalan sesuai dengan konstruksinya.
Setidaknya sudah 22 saksi yang telah diperiksa, terdiri dari 10 saksi ahli dari tiga bidang yaitu ahli bahasa dari UGM, ahli agama dari MUI dan ahli hukum pidana dari UI dan Universitas Islam Indonesia. 12 saksi lain adalah pegawai pemerintah provinsi DKI Jakarta, warga Kepulauan Seribu dan Staf Ahok. Bareskrim Polri pun langsung melakukan gelar perkara secara terbuka pada Selasa, 15 November 2016. Meski awalnya terbuka, gelar perkara yang dimulai pukul 09.00 WIB itu berlangsung tertutup. Gelar perkara ini dihadiri kelompok pelapor dan kelompok terlapor. Dari pelapor hadir sejumlah saksi ahli, termasuk di antaranya pemimpin FPI Rizieq Shihab. Kemudian pada Rabu, 16 November 2016, Ahok resmi ditetapkan sebagai tersangka.
3.2 Analisis Kasus
Ilmu adalah pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan manusia mengenai suatu objek atau lapangannya yang merupakan sebuah kesatuan sistematis dengan penjelasan-penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan dengan menunujukkan sebab-sebab.
Secara terminologi, filsafat menurut Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang berisi ilmu metafisika, retorika, logika, etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat keindahan). Filsafat menurut Immanuel Kant adalah ilmu pengetahuan yang merupakan dasar dari semua pengetahuan dalam meliput isu-isu epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menjawab pertanyaan tentang apa yang dapat kita ketahui. Dan menurut Plato, filsafat adalah ilmu yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang sebenarnya. Maka dapat disimpulkan, bahwa filsafat adalah ilmu untuk mencari kebenaran.
Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran sehingga jika pemikiran akal dan Kitab Suci tidak membawa pertentangan maka itu merupakan suatu kebenaran. Agama adalah sebuah keyakinan bahwa ada sesuatu yang mutlak diluar manusia, oleh karena itu manusia melakukan peribadatan untuk menunjukan keimanan. Filsuf dan teolog Islam, Abu Yazid Balkhi meyakini bahwa filsafat merupakan ilmu dan obat yang paling ampuh untuk menyembuhkan segala penyakit kemanusiaan.
Filsafat ilmu dan agama memiliki keterkaitan yang erat yaitu mencari kebenaran. Meskipun begitu, agama memiliki perbedaan tersendiri karena agama sering dinyatakan oleh setiap penganutnya adalah pemberi tahu akan kebenaran itu sendiri. Di era kontemporer ini, banyak sekali kasus yang berhubungan dengan filsafat, ilmu, dan agama, salah satunya adalah penistaan agama yang dilakukan oleh mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab dipanggil Ahok. Kasus penistaan yang dilakukan oleh Ahok merupakan sebuah implementasi dari adanya keterkaitan antara ilmu, filsafat, dan agama. Dimana dalam pencarian kebenaran dikasus ini, ada beberapa pihak yang memandang bahwa pernyataan Ahok merupakan penghinaan untuk para peganut agama Islam. Beberapa pihak menganggap bahwa pernyataan ahok yang disertai dengan kutipan surat Al Maidah ayat 51 adalah sebuah hujatan.
Dilihat dari sisi agama, segala sesuatu yang menyangkut keagaamaan adalah merupakan hal yang sensitive terlebih lagi setiap yang bersangkutan dengan agama selalu menjadi bentuk kontak batin antara penganut dengan yang dianutnya. Maka dari itu agama sebagai pemberitahu kebenaran menjadi sumber yang cukup kuat untuk menganggap kasus terebut sebagai bentuk dari penistaan agama.
Dilihat dari sisi ilmu yang pencariannya menggunakan metode ilmiah, dalam kasus ini pengadilan agama melakukan pencarian kebenaran dengan sebuah metode yang sudah sesuai dengan prosedur hukum di Indonesia. Proses penyelidikan terkait dugaan penistaan agama tersebut ditangani langsung oleh Kepolisian Republik Indonesia. Beberapa saksi ahli dihadirkan untuk memeriksa apakah dugaan penistaan, benar dilakukan oleh Ahok. Proses hukum berjalan sesuai dengan konstruksinya. Setidaknya 40 saksi dan ahli dimintai keterangan, yaitu terdiri dari saksi ahli dari tiga bidang yaitu ahli bahasa UGM, ahli agama MUI dan ahli hukum pidana UI dan Universitas Islam Indonesia. saksi lain adalah pegawai pemerintah provinsi DKI Jakarta, warga Kepulauan Seribu dan Staf Ahok.
Dilihat dari sisi filsafat, kebenaran dari kasus ini dicari hingga sifat yang paling mendasar atau bisa kita kenal dengan istilah radikal, pencarian kebenaran dalam masalah ini terus dilakukan hingga menemukan titik terang dan pada akhirnya menetapkan Ahok sebagai tersangka. Meskipun terjadi perdebatan di antara saksi ahli, pada sidang ke-21 yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto. Ahok divonis lebih berat dari tuntutan. Dalam penuntutan, Ahok dituntut jaksa satu tahun penjara dengan dua tahun percobaan.
3.3 Solusi Kasus
Ada beberapa hal yang perlu diselsaikan tidak hanya dengan hukum yang berlaku. Salah satunya kita sebagai masyarakat diera kontemporer ini, tidak bisa menyimpulkan dengan cepat seseorang bersalah dan tersangka hanya karena satu dua hal yang menjadi viral, dalam kasus ini contohnya video. Sebagai masyarakat yang awam, pencarian akan kebenaran ini sendiri perlu dilakukan dengan bertahap, tidak akan bisa didapat sebuah kesimpulan yang langsung menuju pada titik kesalahan seseorang. Kita sebagai masyarakat tidak bisa mehakimi seseorang yang belum kita dengar secara langsung apa maksud dibalik setiap kalimat yang diutarakannya. Seperti pembelaan yang dilakukan Ahok beliau tidak memiliki maksud sama sekali untuk menistakan agama.
Kebiasaan yang sering dilakukan oleh kebanyakan masyarakat indonesia yang tergabung dalam berbagai ormas adalah selalu menyimpulkan sesuatu dengan cepat tanpa mengetahui arahan dan kebenarannya. Maka dari itu terjadilah berbagai kerusuhan aksi masa, padahal hukum yang dijalankan sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku dinegara ini. Maka dari itu sebagai orang yang mengerti akan kaitan filsafat,ilmu, dan agama rasanya kita perlu untuk selalu berhati-hati dalam menyimpulkan sebuah kebenaran. Kita perlu mencari sebuah kebenaran sampai ke akarnya, dengan metode yang beragam namun tetap pada tujuan yang sama yaitu mencari kebenaran itu sendiri.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah kita pahami, baik ilmu, filsafat, dan agama memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan. Dengan adanya kesamaan dan perbedaan tersebut menyebabkan lahirnya sebuah hubungan diantara mereka. Di era kontemporer ini dimana manusia sudah semakin pintar, hubungan tersebut justru disalahgunakan dan dijadikan sebuah penyebab konflik di masyarakat. Hal tersebut tidak lain karena adanya kepentingan individu atau kelompok tertentu di masyarakat. Sebuah ironi yang harus dihadapi ketika hubungan yang terjalin bertujuan untuk saling melengkapi justru digunakan untuk saling menghakimi.
4.2 Saran
Sebagai masyarakat generasi milenial, ada baiknya jika kita mulai cermat memahami sebuah persoalan. Tidak hanya menggunakan satu perspektif melainkan menggunakan perspektif lainnya. Agar tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat memicu permusuhan diantara sesama. Selain itu mulai bijaklah dalam menghadapi era globalisasi ini. Jangan sampai kita terbawa arus dan melupakan jati diri sendiri. Yang dapat merugikan diri kita sendiri dan orang sekitar yang kita sayangi.
DAFTAR PUSTAKA
Alfindasari, D. (2014). Hakikat Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan dalam Tinjauan Filsafat Ilmu. Diambil dari https://www.eurekapendidikan.com/2014/10/pengetahuan-dan-ilmu-pengetahuan.html
Debora, Y. (2016). Kronologi Kasus Dugaan Penistaan Agama. Diambil dari https://tirto.id/kronologi-kasus-dugaan-penistaan-agama-b457
Saifuddin Anshari, E. (1987). Ilmu, Filsafat, dan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Salam, B. (2008). Pengantar filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Suaedi. (2016). Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.
Sudarto. (1996). Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.