Review Naskah Akademik RUU Tentang Perkoperasian
Thursday, April 16, 2020
Edit
Oleh : Muhammad Rizki Mulyanudin (Ilmu Administrasi Publik Unpad 2017)
RESUME NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG PERKOPERASIAN
RESUME NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG PERKOPERASIAN
A. Pendahuluan
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”, berikut yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai salah satu badan usaha yang menjalankan usahanya dengan asas kekeluargaan maka pemberdayaan koperasi di Indonesia merupakan suatu keharusan. Oleh sebab itu, Presiden mengamanahkan untuk membuat sebuah naskah akademik membahas RUU tentang Perkoperasian melalui pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, naskah akademik ini juga disusun dengan dilatarbelakangi oleh dua permasalahan dalam pelaksanaan Perkoperasian di Indonesia yang tidak dapat diselesaikan oleh undang-undang yang berlaku saat ini. Yang pertama, permasalahan sosiologis, yang mana didalamnya termasuk kepada kurangnya pengetahuan dan pendidikan tentang perkoperasian pada masyarakat dan maraknya isu negatif tentang koperasi yang identik dengan sesuatu yang kuno dan berbau penipuan. Sehingga mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan oleh koperasi. Kedua, masalah administratif, mengikuti perkembangan zaman saat ini, pengelolaan manajerial koperasi sudah sangat tidak efektif dan efisien. Sehingga perlu adannya perbaikan menyikapi permasalahan ini.
Oleh karena itu, maka perlu adanya pembaharuan terhadap undang-undang yang ada saat ini. Karena undang-undang yang ada saat ini yaitu UU no. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Kajian ini diadakan untuk merumuskan segala permasalahan yang ada dalam perkoperasian dan menentukan sasaran apa saja yang ingin dituju. Serta untuk menghindari kegagalan yang sama yang dialami UU no. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasiaan yang tidak selaras dengan prinsip koperasi yang ada sehingga berakhir pembatalan oleh Mahkamah Konstitusi.
B. Isi
Dalam penyusunan RUU tentang Perkoperasian haruslah berpegang teguh pada tiga landasan pokok, yaitu landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Adapun landasan filosofis koperasi sesuai dengan yang tertera dalam pasal 33 UUD 1945 yaitu “ekonomi mutualisme” atau “ekonomi gotong royong” yang dilandasi asas kekeluargaan. Sedangkan alasan sosiologis koperasi menyangkut tujuan berdirinya koperasi yaitu mensejahterakan anggotanya secara khusus dan masyarakat pada umumnya. Kedua landasan tersebut dibalut oleh landasan yuridis koperasi yang terdiri dari peraturan-peraturan dalam konstitusi RI. Dimulai dari Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 lalu dilengkapi oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998. Hingga akhirnya dalam pengaplikasiannya norma-norma tersebut dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Naskah akademik ini memiliki beberapa sasaran yang ingin dicapai sesuai dengan permasalahan Perkoperasian yang ada di Indonesia saat ini. Dan mencoba membedahnya dengan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis yang dimiliki koperasi. Adapun yang menjadi penekanan dalam naskah akademik RUU tentang Perkoperasian ini adalah mengenai regulasi atau peraturan yang ada. Bagaimana caranya dengan regulasi yang ada tersebut dapat meningkatkan kepatuhan masyarakat penggala koperasi. Dan bagaimana caranya dengan regulasi yang ada tingkat trust atau kepercayaan publik terhadap koperasi dapat meningkat.
Sasaran-sasaran tersebut dapat dicapai dengan tiga rancangan kebijakan baru. Pertama, yaitu peningkatan selektifitas dalam pengelolaan akta pendirian dan anggaran dasar koperasi. Hal ini bertujuan agar meminimalisir lahirnya koperasi-koperasi yang tidak sehat dan bahkan mati. Kedua, pengelolaan koperasi yang berbasis syariah. Dikarenakan banyaknya permintaan akan pendirian koperasi berbasis syariah yang sayangnya belum diatur secara pasti. Sedangkan target pemerintah tentang peningkatan kontribusi perekonomian nasional dari koperasi sangat tinggi. Maka pengelolaan koperasi secara syariah harus segera disiapkan. Dan yang terakhir tentang penerapan sanksi baik bagi pengurus maupun pengawas koperasi yang tidak bertanggung-jawab. Agar kasus-kasus penipuan dan korupsi yang dilakukan pengelola koperasi seperti kasus Koperasi Cipaganti dan Koperasi Langit Biru tidak terjadi kembali.
C. Penutup
Dari kajian naskah akademik RUU tentang Perkoperasian ini dapat terlihat bila harus segera diadakan UU baru yang membahas Perkoperasian saat ini. Entah itu pembaruan terhadap UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasiaan ataupun diganti dengan undang-undang yang baru. Adapun pengaturan utamanya meliputi pembentukan koperasi; pengelolaan koperasi; permodalan koperasi; pengembangan usaha; pendidikan koperasi; kerjasama koperasi; pengawasan dan pemeriksaan koperasi; pemberdayaan koperasi dan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kondisi perekonomian Indonesia saat ini.
REVIEW NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG PERKOPERASIAN
1. Definisi, Nilai dan Prinsip Koperasi
Perubahan pertama yang dicanangkan dalam naskah akademik ini adalah pengertian koperasi itu sendiri, yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun tetap dapat sejalan dengan nilai perekonomian mutualisme dan asas kekeluargaan, yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Disamping itu, pengertian koperasi yang baru pun ini pun telah melalui proses penyesuaian dengan pengertian koperasi secara universal yang diakui oleh Persatuan Koperasi Dunia (International Cooperative Alliance) atau sering kita sebut ICA. Adapun pengertian koperasi baru yang dimaksud adalah sebagai berikut: “Koperasi adalah Perkumpulan orang-orang yang bersatu secara sukarela dan bersifat otonom untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya melalui usaha bersama yang diselenggarakan berdasarkan asas kekeluargaan.”
Secara pribadi penulis merasa sangat setuju dengan perubahan pengertian koperasi ini dibandingkan dengan perubahan pengertian koperasi yang terdapat dalam RUU sebelumnya. Karena pengertian tersebut lebih berasaskan kekeluargaan dan tidak terdapat unsur individualis didalamnya. Selain itu, pengertian ini pun selaras dengan pengertian-pengertian koperasi sebelumnya yang tercantum dalam undang-undang dan pendapat Moh. Hatta itu sendiri. Dan dengan diadaptasinya pengertian koperasi berdasarkan ICA maka besar harapan koperasi di Indonesia akan semakin mendekati koperasi yang ideal yang telah dianut koperasi-koperasi sukses di dunia saat ini.
2. Pemberian status badan hukum
Perubahan kedua adalah perubahan tegas mengenai status koperasi yang berbadan hukum. Perubahan status ini ditujukan agar meningkatkan trust masyarakat yang selama ini pudar. Dengan koperasi yang berbadan hukum, pengelolaan koperasi akan dapat melalui lalu lintas hukum. Sehingga tidak akan sembarang orang dapat mengelola koperasi dengan seenaknya. Selain itu keuntungan dari koperasi yang berbadan hukum ini adalah koperasi dapat menambah permodalan kepada perbankan sehingga tidak berpaku pada modal anggota saja yang selama ini menjadi permasalahan. Koperasi yang belum berbadan hukum akan diberi status sebagai Pra-Koperasi. Dan para Pra-Koperasi ini akan diberikan pembinaan oleh pemerintah ataupun gerakan koperasi agar dapat tumbuh dan berkembang hingga layak menjadi koperasi yang berstatus sebagai badan hukum.
Penulis merasa sangat setuju dengan perubahan status koperasi yang berbadan hukum ini. Namun perlu diperhatikan kembali mengenai nasib para Pra-Koperasi nantinya. Karena sebagaimana kita ketahui pengaruh pemerintah dan gerakan koperasi di Indonesia saat ini sangat lemah adanya. Sehingga apabila undang-undang ini akan disahkan nantinya akan lebih baik jika pemerintah membenahi terlebih dahulu perangkat pendukung perkoperasian di Indonesia saat ini. Seperti Lapenkop, Dekopin, Kopindo dan masih banyak lainnya.
3. Permodalan
Menyambung pada perubahan yang kedua, perubahan ketiga berhubungan dengan permodalan. Dalam perubahan ini menekankan akan kebebasan koperasi dalam memperoleh modal dari luar. Karena permasalahan selama ini adalah koperasi yang mengandalkan permodalan dari partisipasi anggota selalu mengalami kekurangan modal uang dan barang. Meskipun benar bila koperasi tidak seperti badan usaha lainnya yang mengandalkan modal uang dan barang namun tetap saja koperasi memerlukan modal uang dan barang untuk menjalankan usahanya. Salah satu yang menjadi solusi adalah meningkatkan simpanan khusus dari anggota yang dapat terjadi bila koperasi dapat meningkatkan pelayanan kepada anggotanya. Dan solusi lainnya adalah permodalan dari luar yang harus jelas dan tercantum dalam Anggaran Dasar koperasi saat itu.
Menyikapi perubahan ini penulis merasa perubahan ini masih belum merupakan solusi yang tepat. Karena kondisi di lapangan menunjukan kondisi yang memprihatinkan dimana jangankan untuk memberi pelayanan yang lebih pada anggota dan mendapatkan simpanan khusus. Memberi pelayanan yang selayaknya pun sudah sangat sulit dilakukan karena anggota bahkan sangat sulit untuk membayar simpanan wajib. Dan solusi yang kedua mungkin dapat menjadi solusi namun mungkin pula dapat menjadi bencana ketika pengurus koperasi tidak dapat mengelola pinjaman modal yang diberikan. Karena sebagaimana kita ketahui, tingkat pendidikan koperasi di Indonesia sangat rendah. Sehingga tidak berlebihan jika penulis mengkhawatirkan mengenai hal tersebut.
4. Hasil Usaha Koperasi
Keempat, perubahan mengenai penggunaan istilah SHU (Sisa Hasil Usaha) yang digunakan selama ini. Perubahan ini merujuk pada penggunaan istilah surplus dan defisit pada pengelolaan koperasi di Indonesia. Sebagaimana diakui dan diaplikasikan oleh ICA (International Cooperative Alliance) dan ILO (International Labour Organization), penggunaan terminologi surplus dan defisit lebih tepat digunakan dibandingkan istilah laba dan rugi yang selama ini digunakan. Karena istilah laba dan rugi lebih tepat digunakan pada badan usaha yang berorientasi pada keuntungan (profit oriented) daripada badan usaha seperti koperasi yang berorientasi pada pelayanan (service oriented). Maka dari itu istilah SHU (Sisa Hasil Usaha) tidak lagi digunakan karena pada seolah-olah menggambarkan kondisi koperasi yang selalu surplus. Padahal sebagai badan usaha terlebih yang berorientasi pada pelayanan lebih sering mengalami defisit. Selain itu pada hakikatnya SHU adalah pengembalian atas apa yang diberikan bukan hasil usaha koperasi. Maka dari itu, istilah baru yang lebih tepat digunakan adalah Hasil Usaha.
Untuk perubahan ini penulis merasa jika ini merupakan suatu hal yang mendasar. Suatu hal yang berhubungan dengan konsep yang seharusnya digunakan dalam perkoperasian. Terlebih konsep dasar ini datang dari sumber yang sangat terpercaya dan menjadi pedoman koperasi di Dunia. Maka tidak perlu diperdebatkan kembali bila perubahan ini merupakan suatu keharusan. Agar perkoperasian di Indonesia semakin lebih baik dan menjadi koperasi yang seharusnya, yang dikelola secara profesional. Sesuai dengan yang disepakati bersama oleh perhimpunan koperasi di Dunia.
5. Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Koperasi
Perubahan selanjutnya adalah perubahan yang sebenarnya menjadi salah satu topik utama dalam naskah akademik ini. Yaitu mengenai pengadaan peraturan unit usaha simpan pinjam oleh koperasi. Meskipun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi telah diatur, namun keberadaan undang-undang ini masih dikira kurang adanya. Karena bila mengikuti perkembangan zaman saat ini, peraturan tersebut sudah tidak relevan dan perlu adanya pembaharuan. Salah satu contohnya yaitu mengenai pengelolaan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) berbasis syariah. Dikala berbagai produk kegiatan ekonomi sudah mulai beralih ke pengelolaan secara syariah, Koperasi Simpan Pinjam (KSP) masih menganut pengelolaan berbasis konvensional. Sehingga perlu adanya peraturan khusus yang mengatur mengenai hal tersebut. Selain itu, sebagai bentuk kegiatan usaha yang bersifat intermediasi artinya berhubungan dengan uang selayaknya bank. Maka perlu adanya manajemen resiko dalam pengelolaannya. Agar jumlah yang meminjam dapat tertutupi dengan jumlah anggota yang menyimpan. Hal inilah yang perlu diatur dalam undang-undang baru ini nantinya.
Dari penjelasan tersebut penulis setuju bila perlu adanya peraturan khusus yang mengatur mengenai Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang sesuai dengan perkembangan zaman saat ini. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa peraturan tersebut harus disatukan dengan peraturan perundang-undangan dasar tentang perkoperasian. Bukankah jika posisi peraturan perihal Koperasi Simpan Pinjam ini dinilai krusial akan lebih baik bila dibuat dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Artinya penulis lebih setuju bila diadakan amandemen atau revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Koperasi Simpan Pinjam. Dibandingkan menyatukannya dalam undang-undang perkoperasian ini. Agar fokus bahasan undang-undang menjadi lebih terarah dan terperinci. Namun bila yang diatur dalam undang-undang tentang perkoperasian ini sebatas peraturan general tentang Koperasi Simpan Pinjam, penulis sangat setuju bila itu perlu dicantumkan.
6. Pengawasan dan Pemeriksaan
Selanjutnya, perubahan yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan mengenai pengawasan dan pemeriksaan koperasi. Akibat maraknya kasus penyimpangan koperasi seperti yang terjadi di Koperasi Karangasem Membangun di Bali, dan Koperasi Angkutan Cipaganti di Jawa barat. Akhirnya pemerintah mengambil inisiatif untuk mengatur perihal pengawasan dan pemeriksaan koperasi ini secara lebih ketat. Salah satu caranya adalah dengan membentuk tim/lembaga khusus pemeriksaan koperasi yang berisi para ahli yang kompeten di bidangnya. Ini dimaksudkan agar koperasi tidak lagi dikelola secara tidak profesional. Karena setiap tindakan yang dilakukan oleh pengurus pada hakikatnya haruslah dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat dan anggotanya.
Pertanyaan penulis adalah akankan ini menjadi efektif. Karena mengawasi koperasi tidak seperti mengawasi badan usaha pada umumnya. Karena dalam koperasi unsur kekeluargaan sangat kental adanya. Dengan adanya formalisasi ini dikhawatirkan justru akan bertubrukan dengan asas kekeluargaan yang dimiliki koperasi. Jangan sampai alih-alih ingin koperasi dikelola secara profesional, unsur kekeluargaan dalam koperasi menjadi luntur. Dan lebih parahnya lagi pengelolaan koperasi menjadi jauh dari efektif dan efisien.
7. Pemberdayaan Koperasi
Selanjutnya perihal pemberdayaan koperasi. Pemberdayaan koperasi tingkat keberhasilannya bergantung pada partisipasi dan tingkat pendidikan anggotanya. Karena semakin tinggi tingkat pendidikan anggotanya maka diharapkan anggota akan dapat lebih berpartisipasi aktif dan dinamis dalam mengembangkan koperasinya. Hal tersebutlah yang melatar belakangi mengapa sisa SHU terbesar dialokasikan koperasi untuk pendidikan pengurus, pengawas, anggota dan karyawannya. Karena koperasi masih meyakini bila pendidikan anggota merupakan investasi tertinggi bagi perkembangan koperasi.
Adapun pendidikan anggota yang dimaksudkan menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (2015), diarahkan untuk:
1) Membangkitkan aspirasi dan pemahaman anggota tentang konsep, prinsip, metode, dan praktik serta pelaksanaan usaha koperasi.
2) Mengubah perilaku dan kepercayaan serta menumbuhkan kesadaran pada masyarakat, khususnya anggota koperasi tentang arti penting dan manfaat bergabung dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan usaha dan pengambilan keputusan koperasi sebagai upaya perbaikan taraf hidup anggota.
3) Mengembangkan rasa percaya diri, kemandirian, dan kesetiakawanan sosial antar anggota serta pemahaman tentang kewajiban, tugas, dan hak-hak anggota.
4) Meningkatkan kompetisi anggota, pengurus, badan pengawas, dan karyawan untuk memperbaiki manajemen dan kinerja usaha anggota dan koperasinya.
5) Menjamin kesinambungan kepemimpinan di berbagai tingkatan organisasi koperasi.
6) Mendorong dan menopang kebijakan pemerintah serta gerakan koperasi dalam rangka pembangunan sosial ekonomi.
Tanggapan penulis adalah boleh jadi rencana mengenai pemberdayaan koperasi yang diangan-angankan begitu sempurna adanya. Namun apa daya bila dalam proses pelaksanaan justru berjalan sebaliknya. Karena bila pemberdayaan koperasi telah berjalan lancar sesuai rencana, maka tidak akan ada minimnya pendidikan koperasi di kalangan masyarakat yang menjadi permasalahan yang melatarbelakangi adanya naskah akademik ini. Oleh sebab itu, perlu adanya rencana matang dalam pelaksanaan pemberian pendidikan kepada masyarakat. Mulai dari membenahi lembaga pendidikannya dalam hal ini Lapenkop hingga kurikulum dasar yang akan diberikannya. Manfaatkan adanya Kopma atau Koperasi Mahasiswa di berbagai universitas sebagai wadah dalam pemberian pendidikan koperasi sejak dini. Karena generasi muda adalah generasi penerus bangsa. Jika ingin adanya perubahan, mulai lah dari para pemuda.
8. Gerakan Koperasi
Masih membahas mengenai pemberdayaan koperasi namun dalam perubahan kali ini lebih kepada pengoptimalan peran dan fungsi dari gerakan koperasi. Gerakan koperasi sendiri hakikatnya adalah sebuah wadah bagi koperasi dalam memperjuangkan kepentingan dan menyalurkan aspirasinya. Terkadang permasalahan yang ada dalam sebuah koperasi tidak dapat diselesaikan secara mandiri. Sehingga membutuhkan koperasi-koperasi lain yang memiliki permasalahan yang sama untuk dapat mencari solusi bersama. Adapun fungsi gerakan koperasi dan pemerintah hampir mirip sama yaitu pembinaan dan pengawasan namun dalam ranah yang berbeda. Bila pemerintah memberikan perlindungan dan pengawasan dalam bentuk undang-undang. Maka gerakan koperasi memberikan perlindungan melalui pembinaan, penerangan, perencanaan dan sebagainya. Oleh sebab itu sangat penting untuk membangun sinergitas antara pemerintah dan gerakan koperasi. Agar pembangunan koperasi di Indonesia dapat berjalan lancar dan sesuai target.
Mengamati perihal ini, penulis sangat setuju akan peningkatan sinergitas antara pemerintah dan gerakan koperasi dalam naskah akademik ini. Karena selama ini pemerintah dan gerakan koperasi di Indonesia yaitu Dekopin (Dewan Koperasi Indonesia) seolah berjalan sendiri-sendiri. Padahal keduanya memiliki maksud dan tujuan yang sama. Sebagai contoh akhir-akhir ini dalam menanggapi era revolusi industry 4.0 baik Dekopin dan Kemenkop dan UMKM mencanangkan membuat sebuah aplikasi terpadu yang dapat mensinergiskan seluruh barang yang dijual oleh seluruh koperasi di Indonesia. Dan memudahkan pembayar simpanan dan berbagai tagihan anggota melalui sebuah aplikasi. Namun apa yang terjadi, keduanya justru membuat aplikasi sendiri-sendiri sehingga menyebabkan terjadinya dualisme yang membingungkan koperasi-koperasi di Indonesia. Hingga akhirnya keduanya bahkan tidak ada satupun yang direalisasi. Bukankah akan lebih baik jika keduanya bekerjasama dan bersinergi dalam menjalankan rencana tersebut. Selain hasilnya akan lebih memuaskan dan juga tidak akan memakan banyak sumber daya yang dibutuhkan.
9. Sanksi
Yang terakhir dan yang terpenting adalah perubahan mengenai pemberian sanksi pidana bagi pengurus koperasi yang menyelewengkan wewenang dan tanggung jawabnya. Sebagaimana kita ketahui pengurus dan pengawas dipilih oleh anggota melalui rapat akhir tahun. Artinya pengurus dan pengawas harus tunduk terhadap keputusan dalam rapat tersebut yang telah disepakati bersama. Namun apa jadinya bila pengurus terpilih tidak menjalankan amanat yang telah ditentukan saat rapat akhir tahun tersebut. Pada Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian tidak dibahas secara gamblang mengenai pemberian sanksi terhadap penyelewengan koperasi. Bahkan dalam undang-undang tersebut sanksi yang diberikan hanya sebatas sanksi administratif belaka. Kerugian yang terbesar bila terjadi pelanggaran oleh pengurus bukanlah kerugian yang bersifat materil. Melainkan kerugian yang tidak bisa dilihat secara kasat mata namun sangat berdampak pada kiprah koperasi kedepannya. Hal itu adalah kepercayaan, sangat sulit untuk membentuk citra baik dihadapan masyarakat ketika kepercayaan masyarakat kepada koperasi telah hilang. Alhasil hingga saat ini koperasi hanya dapat menyumbang 3-5% dari total penghasilan domestik bruto Indonesia tahun ini. Sangat jauh dari target seharusnya yaitu sebesar 33,3% dari total pengasilan domestik bruto Indonesia tahun terhitung. Jikalau keadaan seperti ini terus berlanjut maka apalah arti koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Semuanya hanyalah impian semata.
Dari uraian panjang tersebut sudah jelas bila penulis sangat setuju dengan penambahan sanksi pidana dalam undang-undang koperasi nantinya. Karena sudah tidak sedikit koperasi-koperasi yang tersandung permasalahan yang sama yang diakibatkan oleh penyelewengan pengurus koperasi itu sendiri. Sudah tidak terhitung berapa triliun kerugian yang dihasilkan. Mulai dari penggelapan dana hingga pemberian pinjaman yang tidak sesuai aturan. Dan yang dirugikan bukan hanya pengurus melaikan ribuan hingga jutaan anggota yang tergabung dalam koperasi tersebut. Hukuman administratif sudah tidak memberi efek jera bagi pelaku. Karena ini telah berhubungan dengan hayat hidup orang banyak. Maka hukuman pidana merupakan hukuman yang pas untuk diterapkan. Karena tindakan yang dilakukan sudah tergolong sangat kriminal dihadapan masyarakat. Dan penulis sangat yakin bila masyarakat pun berpendapat sama perihal hal ini. Mari selamatkan citra koperasi sebelum koperasi itu dilupakan oleh masyarakatnya sendiri. Hanya akibat dari segelintir oknum pengurus koperasi yang tidak bertanggung jawab.
Daftar Pustaka
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. (2015). Laporan Akhir Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perkoperasian.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 33 ayat (1)