-->

4 Isu dalam Etika Administrasi Publik

Oleh : Muhammad Rizki Mulyanudin (Ilmu Administrasi Publik Unpad 2017)

1. Dampak korupsi terhadap kemiskinan baik secara struktural maupun kultural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Sedangkan kemiskinan kultural, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Lalu bagaimana caranya korupsi dapat berdampak pada kedua hal tersebut?


Salah satu bentuk korupsi adalah korupsi politik dalam hal ini korupsi dilakukan dengan cara menyalahgunakan wewenang yang dimiliki. Adapun bentuk-bentuknya antara lain seperti: nepotisme, suap menyuap (bribery), dan masih banyak lagi. Sebenarnya hubungan antara korupsi, kemiskinan struktural, dan kemiskinan budaya seperti sebuah siklus yang terus berputar. Dengan korupsi segala kebijakan yang diambil tidak akan pernah berorientasi kepada masyarakat melainkan demi kepentingan pribadi, klik, atau kelompok. Menyebabkan proses pembangunan menjadi terhambat dan pelayanan kepada masyarakat yang kian memburuk. Dengan kondisi seperti ini bagaimana caranya masyarakat miskin dapat meningkatkan kesejahteraannya. Karena sistem tidak membiarkan mereka untuk tumbuh dan berkembang. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan kemiskinan struktural yang kita kenal saat ini. Selanjutnya setelah masyarakat terjebak dalam sistem yang membuat mereka stagnan dalam kondisi miskin yang kian berlanjut. Semangat untuk merubah nasib kian luntur dan mulai pasrah terhadap keadaan. Kondisi seperti ini yang dinamakan dengan korupsi kebudayaan (kultural). Dimana pada akhirnya masyarakat akan mulai menerima korupsi sebagai budaya yang wajar dan menerima. Saat itu terjadi maka akan terjadi sebuah fenomena yang bernama kleptokrasi. Fenomena tersebut dapat dijelaskan melalui sebuah kalimat: a society of the corrupt, for the corrupt, by the corrupt.

2. Gratifikasi dalam layanan publik merusak sifat birokrasi menurut pandangan ideal Max Weber
Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Adapun beberapa contoh praktek gratifikasi dalam birokrasi di Indonesia antara lain:
1) Memberikan uang melebihi ketentuan yang diatur,
2) Memberikan uang/barang untuk Sekolah agar anaknya dapat diterima,
3) Memberikan uang dalam pengurusan SIM dan STNK dan
4) Pelanggar lalu lintas memberikan uang damai.

Max Weber memiliki pandangan tersendiri tentang bagaimana cara untuk mencegah berbagai tindakan gratifikasi yang ada pada birokrasi di Indonesia terutama yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dengan cara memperkuat kapasitas kelembagaan birokrasi pelayanan publik. Penguatan kapasitas kelembagaan birokrasi sangat penting dalam rangka menerapkan birokrasi ala Weberian, yaitu Birokrasi legal-rational. Birokrasi legal-rational ditandai dengan birokrasi yang memuat aturan-aturan yang ketat dan pelaksanaanya dikontrol oleh atasan secara ketat, dan tenaga pelayanan birokrasi harus ditopang oleh orang-orang yang memiliki kompetensi memadai. Menurut Hart (2001), penguatan kelembagaan birokrasi (organisasi) dapat mendorong adanya disiplin internal sebagaimana diinginkan dalam model birokrasi legal rasional ala Weberian. Penguatan kelembagaan ini dapat diwujudkan melalui reformasi internal birokrasi dengan menerapkan mekanisme Pengawasan Internal, pemberian sanksi dan penghargaan, penerapan kode etik, audit internal, dan lain-lain) (Hart, 2001).

3. Public Accountability sebagai konsep profesionalisme ASN
Public Accountability merupakan salah satu konsep profesionalisme ASN dan merupakan salah satu unsur penting dalam penerapan Good Governance. Adapun akuntabilitas publik memiliki arti bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Pegawai ASN harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu: akuntabilitas vertikal (vertical accountability), dan akuntabilitas horizontal (horizontal accountability). Akuntabilitas vertikal adalah pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah, kemudian pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, pemerintah pusat kepada DPR. Akuntabilitas vertikal membutuhkan pejabat pemerintah untuk melaporkan “ke bawah” kepada publik. Misalnya, pelaksanaan pemilu, referendum, dan berbagai mekanisme akuntabilitas publik yang melibatkan tekanan dari warga. Akuntabilitas horizontal adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat luas. Akuntabilitas ini membutuhkan pejabat pemerintah untuk melaporkan “ke samping” kepada para pejabat lainnya dan lembaga negara. Contohnya adalah lembaga pemilihan umum yang independen, komisi pemberantasan korupsi, dan komisi investigasi legislatif.

Akuntabilitas publik memiliki tiga fungsi utama (Bovens, 2007), yaitu:
1. Untuk menyediakan kontrol demokratis (peran demokrasi); dengan membangun suatu sistem yang melibatkan stakeholders dan users yang lebih luas (termasuk masyarakat, pihak swasta, legislatif, yudikatif dan di lingkungan pemerintah itu sendiri baik di tingkat kementrian, lembaga maupun daerah);
2. Untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (peran konstitusional);
3. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas (peran belajar).

4. Pendekatan Etika Administrasi Publik meletakkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi dan golongan
Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan teleologis, atau lebih tepatnya aliran utilitarianisme. Secara harfiah, utilis berarti berguna. Artinya sebuah perbuatan yang dianggap baik secara susila ialah yang mengandung “guna atau manfaat”. Penganut utamanya adalah Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Bentham mengatakan bahwa the greatest happiness of the greatest number. Menurut paham ini, bahwa yang baik adalah yang berguna. Jika ukuran ini berlaku bagi perorangan, disebut individual, dan jika berlaku bagi masyarakat dan negara disebut sosial. Sempalan dari ajaran ini antara lain adalah aliran pragmatisme, empirisme, positivisme, dan neo-positivisme (scientism).
Kelebihan teori utilitarianisme adalah menjadi dasar banyak kebijakan (public & private sector) terutama dalam bidang engineering. Utilitarianisme menjadi dasar berbagai tipe program/proyek engineering seperti analisis dampak (amdal), analisis resiko manfaat, analisis biaya-keuntungan (cost-benefit analysis). Contoh aplikasi pada benefit-cost analysis/BCA adalah proyek bendungan. Hasil dari analisis BCA sangat menguntungkan dari aspek finansial maupun sosial masyarakat, tapi mengorbankan natural conservation, ecosystem, dan punahnya spesies langka

Sumber :
Bovens, M. (2007). Analysing and Assessing Accountability: A Conceptual Framework. European Law Journal, Vol. 13(4), pp. 447–468.
Natasha Hamilton-Hart. (2001). Anti-Corruption Strategies In Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 37, No. 1, 2001: 65–82
UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel